Advertise Box

Sang Pemimpin

Oleh Alfath Beriyan "Dila"


Setelah memeluk Islam, Dicky mengganti namanya menjadi Fauzan. Keluarga Fauzan pun satu persatu juga memeluk Islam. Selama Fauzan memeluk Islam, Fauzan belajar agama pada gurunya Baihaqi. Fauzan juga memperistri anak Baihaqi yang bernama Wardah. Wardah adalah Istri yang sholehah dan patuh pada suami. Ibu Wardah sudah lama meninggal dunia karena suatu penyakit. Setelah lama Fauzan belajar agama dan mengerti tenteng Islam, Fauzan mulai merasakan kegelisahan tentang pelaksanaan syariat Islam yang melenceng ke arah bid'ah di sekitarnya.
            Sewaktu Fauzan akan berangkat mengaji ke Masjid, dia melihat orang sedang memberi sesaji di pohon. Dan setelah orang tersebut pergi, Fauzan mengambil sesaji itu untuk dibagi kepada fakir miskin. Akhirnya saat Fauzan bertemu Baihaqi, dia menanyakan hal ini pada Baihaqi. “Guru, saya tadi melihat orang memberikan sesaji pada pohon, padahal itu kan syirik guru, jadi setelah orang itu pergi, saya mengambil sesaji itu dan saya bagi pada fakir miskin. Apa yang saya lakukan salah guru?”. “Nak, sesungguhnya kau adalah seorang pemimpin, kelak kau akan mengatahui apa maksudku. Aku ingin kau terus berdakwah dengan belajar seperti udara, berguru pada semut, dan juga dengan mempelajari ilmu ikhlas”, kata Baihaqi. “Baik guru, tapi apa maksud guru?, saya benar-benar tidak mengerti”, tanya Fauzan bingung. “Pelajarilah apa yang aku maksud ini, kelak kau akan mengetahuinya”, jawab Baihaqi dengan senyuman. Setelah lama mereka bertanya jawab, akhirnya Fauzan pulang kerumah dengan di sambut hangat oleh istri tercintanya Wardah.
            “Assalamualaikum bu?”, “Walaikumsalam yah. Ada apa yah, kok kayanya ayah begitu kebingungan?”, tanya Wardah heran. “ Begini bu, tadi ayah bertemu bapak, kata bapak, ayah suruh mencari 3 ilmu. Yang pertama belajar pada angin, yang kedua berguru pada semut, lalu belajar ilmu ikhlas. Ayah tak mengerti itu semua”, jawab Fauzan. “Oh gitu ya yah, ya udah ayah harus semangat ya, ibu akan dukung ayah selalu, Wardah memberi semangat. “Makasih ya bu. Ayah sayang sama ibu. Ibu memang istri yang sholehah, dan istri sholehah adalah harta yang paling berharga untuk suami”, kata fauzan bahagia. “Ah ayah ini bias aja”, Wardah tersenyum.
            Malam harinya, Fauzan mencoba mencari ilmu itu dengan ditemani istrinya. Fauzan mencoba mengamati udara, namun udara tidak terlihat dan justru dingin dirasa. Kemudian pagi harinya Fauzan mengamati semut, dan lama kelamaan dia merasa seperti orang gila dan takut kalau Baihaqi, mertua yang menjadi gurunya itu sesat. Namun Wardah selalu menenangkan Fauzan dan menemani Fauzan kemanapun Fauzan pergi. Usai mengamati semut dengan serius, Fauzan dan istrinya kerumah Baihaqi. “Assalamualaikum..., guru..., guru...?”, “Walaikumsalam.., oh Fauzan, Wardah, ada apa nak, silahkan masuk?”, “Terimakasih guru, begini guru, kedatangan kami ingin meminta penjelasan guru mengenai apa yang guru ajarkan padaku”, “Iya pak, mas Fauzan sangat bingung. Semalaman dia mencari tahu, tadi pagi juga, tapi tidak menemukan jawaban”, tambah Wardah. “Fauzan, kau harus tahu itu semua sebagai bekal untukmu dakwah. Ketika kau belajar udara, apa yang kau rasakan?”, tanya Baihaqi. “Saya merasa dingin guru, udara itu tidak terlihat, namun bisa dirasakan”, jawab Fauzan. “ Begitulah Islam nak. Apabila Islam di dasari nilai Al-Quran dan sunah, maka akan terasa indah meski tak terlihat, namun jika Al-Quran dan sunah tidak menjadi dasar umat islam, maka hawa nafsulah yang akan menguasainya, apa kau mengerti?”, kata Baihaqi. “Saya mengerti guru, dan saya juga mengerti tentang berguru pada semut. Semut itu hewan yang kecil namun memiliki nilai sosial tinggi dan kerja keras yang hebat, dan itulah yang harus saya lakukan. Bukan begitu guru?”, kata Fauzan. “Benar sekali nak, kini kau telah mampu untuk berfikir dengan cerdas”, kata Baihaqi. “Lalu bagaimana saya mempelajari ilmu ikhlas guru?”, tanya Fauzan masih bingung. “Kelak kau akan mengetahuinya nak”, jawab Baihaqi dengan senyuman. Setelah lama mereka berbincang-bincang, akhirnya Fauzan dan Wardah pulang. Beberapa hari berikutnya Fauzan meneruskan dakwahnya, hingga dia mendapatkan empat orang murid yang mempercayai ajarannya, yaitu Panji, Syahid, Ahmad dan Ilham. Kebanyakan warga tidak percaya dengan ajarannya, bahkan menentang dan menganggap Fauzan menganut Islam garis keras hanya karena melarang umat Islam untuk bersesaji, meminta pada yang sudah meninggal dan  lain sebagainya . Namun Fauzan dan orang-orang yang mendukungnya tidak pernah putus asa untuk berdakwah.
            Suatu ketika, Sugeng seorang kepala desa yang berjiwa tradisional tinggi merasa terganggu dengan keberadaan Fauzan dan jamaahnya. Hingga Sungeng menyuruh tangan kanannya untuk mengundang Fauzan musyawarah yang dihadiri oleh kalangan tokoh masyarakat. Namun selama 3 kali di undang, Fauzan tidak pernah hadir. Akhirnya Sugeng dan warga yang menentang Fauzan langsung menghancurkan Masjid yang digunakan Fauzan untuk berdakwah. Saat Masjid itu dihancurkan, Baihaqi yang sedang sholat didalamnya terbunuh oleh lemparan batu dan obor warga. Wardah pun langsung jatuh pingsan karena sakit jantungnya yang kumat melihat ayahnya mati terbunuh. Terbunuhnya Baihaqi dan pingsannya Wardah tersebut membuat warga terhenti melakukan aksinya. Fauzan pun bergegas membawa Wardah ke Rumah Sakit terdekat dengan di temani sebagian keluarga dan muridnya, sedang yang lain mengurus jenazah Baihaqi. Namun sesampai dirumah sakit, Wardah langsung meninggal dunia. Hal ini membuat Fauzan begitu terpukul dan sedih.
            Siang hari usai pemakaman istri dan mertuanya, Fauzan langsung bergegas pergi dari desa tersebut. Namun niat itu dihentikan oleh ke-empat murid dan keluarganya. “Nak, janganlah kau pergi, kami sangat membutuhkanmu untuk membenahi akhlak warga nak”, bujuk Ibu Fauzan. “Iya guru, jangan pergi guru, kita harus bangkit”, tambah Syahid. “Apa kau tidak ingat pesan Baihaqi?, dia berpesan padamu untuk terus berdakwah bukan?”, bujuk Ibunya lagi. Akhirnya karena bujukan dari orang-orang yang mendukungnya, Fauzan mau kembali untuk berdakwah. Fauzan dan pendukungnya mencoba untuk memperbaiki Masjid yang sudah dihancurkan oleh warga.
Saat memperbaiki Masjid tersebut, Sugeng dan warga datang lagi menghampiri. “Hei, buat apa kau perbaiki tempat ini?, apa kau dan murid-muridmu mau menjadi teroris?”, tanya Sugeng pada Fauzan sambil menunjukkan tangannya pada Fauzan. “Maaf saudara, dahulukanlah salam sebelum kalam”, jawab Fauzan. “Oh, begitu, tapi kan tidak perlu kita mengucap salam pada orang kafir”, kata Sugeng., “Siapa yang kafir, siapa?, kami tidak merusak, tidak menghina, merendahkan, bahkan membunuh seperti kalian”, jawab Fauzan marah. “Sabar guru, sabar, istighfar guru”, Syahid mencoba menenangkan. “Astagfirullahhal aldzim, astagfirullahhal aldzim, begini pak, saya sudah mencoba untuk bersabar, tapi saya tidak mengerti mengapa bapak dan warga bertindak seperti orang kafir, padahal saya hanya mencoba membenahi akidah warga”, kata Fauzan. “Lalu mengapa kau melarang memberi sesaji pada pohon dan tempat-tempat tertentu, padahal itu sudah merupakan kewajiban bagi kami supaya roh-roh nenek moyang tidak marah dan mau memberi bantuannya?, kau juga melarang meminta pada orang mati, padahal dia dekat dengan Allah bukan?, karena orang mati akan menuju Allah”, kata salah seorang warga. “Allah begitu dekat dengan hambanya, jadi kita bisa meminta langsung pada Allah tanpa sesaji, orang mati, atau benda-benda keramat”, jawab Fauzan. “Benar. Bahkan orang yang sudah meninggal dunia itu sudah putus dengan dunia, jadi kalau kita meminta pada orang yang sudah meninggal dunia, tentunya itu syirik”, tambah Ahmad. “Tapi itu sudah merupakan tradisi dan sulit untuk di tinggalkan bukan?”, salah satu tokoh warga mengotot. “Kalau bukan generasi kita yang memulai perbaikan, siapa lagi, dahulu tugas wali untuk memperbaiki akhlak belum selesai, namun para wali sudah meninggal. Kini giliran kita yang harus memperbaikinya”, kata Fauzan. ”Lalu mengapa kau tidak pernah hadir jika kami undang untuk musyawarah?”, tanya Sugeng. “Ya karena saya tidak pernah di undang musyawarah. Mengapa saya selalu disalahkan?”, kata Fauzan. “Dika......”, “Iya pak, ada apa?”, Sugeng memanggil tangan kanannya. “Apa kamu sudah mengundang Fauzan?”, tanya Sugeng. “Sudah pak, saya sudah mengundang pak Fauzan”, jawab Dika. “Lalu mengapa Fauzan bilang kalau...”, belum selesai Sugeng bicara, Ilham langsung memotong pembicaraan. “Maafkan saya guru. Undangan yang disampaikan untuk guru selalu saya buang ke sampah karena saya kasihan dengan guru Fauzan, saya siap menerima hukuman”. “Saya tidak akan menghukummu, dan mungkin jika pak Sugeng dan warga tidak terima bisa menhukum saya karena saya yang bertanggung jawab akan murid saya”, kata Fauzan. “Fauzan, maafkan saya yang sudah salah paham padamu hingga menyebabkan permusuhan antara sesama muslim dan menyebabkan dua orang tercintamu meninggal, aku siap menerima hukumanmu”, kata Sugeng menyesal. “Aku juga minta maaf Zan”, “Aku juga, maafkan aku Zan”, seluruh warga mulai sadar akan perbuatannya dan meminta maaf pada Fauzan. “Sudahlah, semua sudah terjadi dan tidak perlu disesali, yang penting mulai sekarang kita bersama-sama membangun ukhuwah islamiyah dan menegakkan syariat sesuai ajaran Islam. Kini aku telah mengerti ketiga ilmu yang guru Baihaqi ajarkan”.

+ Add Your Comment

Sponsored by